SAHKAH SAI DI MAS'A BARU
17 Februari 2010
oleh saidyai
Oleh : Ustadz Abu Ahmad Said Yai, Lc.
Perlu kita ingat bahwa bersai termasuk rukun-rukun haji/umrah yang harus dikerjakan. Apabila ini ditinggalkan –baik sengaja, maupun tidak- maka ibadah haji/umrah menjadi tidak sah. Oleh karena itu, setiap jamaah haji harus memperhatikan dengan seksama pelaksanaan sainya. Jika tidak, maka bisa berakibat fatal.
Nah, di antara masalah kontemporer yang perlu diketahui bersama adalah masalah sai di tempat sai yang baru, apakah hal itu diperbolehkan ataukah tidak? Masalah ini adalah masalah penting yang hangat dibicarakan oleh para ulama kita masa kini. Berikut ulasan ringkas dari kami sebagai wawasan ilmu bagi kita semua. Amin.
PERAN KSA UNTUK PELAKSANAAN HAJI DAN UMRAH
Berbicara tentang haji dan umrah, tentunya tidak bisa dilepaskan dengan Kerajaan Saudi Arabia (KSA). Karena Mekkah, Arafah, Muzdalifah dan Mina berada di dalam wilayah kekuasaannya.
KSA telah mengeluarkan banyak biaya untuk memfasilitasi tamu-tamu Allah yang berhaji dan berumrah di tiap tahun.Di antara bentuk nyata perhatian KSA untuk pelaksanaan haji dan umrah adalah memperlebar mas’â (tempat bersai). Yang tadinya hanya 20 meter saja, sekarang menjadi 40 meter ke arah timur (luar masjid). Tidak hanya itu, KSA juga menjadikannya empat tingkat -yang tadinya hanya tiga tingkat-.
Dengan diperlebarnya mas’a ini, jamaah haji bisa dengan leluasa bersai tanpa harus berdesak-desakan, tidak seperti tahun-tahun sebelumnya. Bahkan dikatakan bahwa dengan jadinya mas’â yang baru ini, maka akan bisa menampung 3,84 juta orang dalam satu hari untuk bersai di sana.
Pembaca yang budiman, Tahukah pembaca, berapa besar biaya yang harus dikeluarkan oleh KSA untuk mewujudkan ini semua? Jawabannya adalah 2 miliyar 985 juta Riyal Saudi (Sekitar Rp 8,955 triliun)[1].
PERLEBARAN YANG MEMBAWA KHILAF (PERBEDAAN PENDAPAT)
Dengan diperlebarnya mas’â itu, ternyata menjadikan para ulama khilaf (berbeda pendapat). Perlu diketahui bahwa sebelum Pemerintah KSA memperlebar mas’â ini, Pemerintah KSA sudah mengumpulkan para ulama di Hai’ah Kibâr Al-’Ulamâ’ (Majelis Ulama-ulama Besar) KSA. Ternyata di antara mereka sendiri pun terjadi khilaf sampai saat ini.
Hai’ah Kibâr Al-’Ulamâ’ dan Lajnah Dâimah sampai saat ini belum mengeluarkan qarâr (keputusan) tentang hal ini. Mereka berdalih bahwa permasalahan ini masih harus diadakan penelitian lebih lanjut.
Dengan keadaan seperti itu, pemerintah KSA mengambil keputusan untuk mengikuti fatwa para ulama yang membolehkan. Di antara penelitian yang dijadikan acuan oleh pemerintah KSA adalah penelitian yang dilakukan oleh Syaikh ‘Abdul-Wahhâb bin Ibrâhîm Abu Sulaimân (salah satu angggota Hai’ah Kibâr Al-’Ulamâ’) dan penelitian yang dilakukan oleh Ma’had Abhâtsil-haramain (Badan untuk Penelitian Dua Tanah Haram) dan Hai’ah Al-Masâhah al-jiyûlûjiyah (Badan peneliti geologis).
Syaikh ‘Abdul-Wahhâb mengatakan dalam muqaddimah penelitiannya bahwa untuk menghasilkan kesimpulan ini, dia benar-benar meneliti dan tidak terpengaruh dengan apapun (tajarrud) dalam penelitiannya.[2]
Kalau kita mengikuti perkembangan di media-media massa tentang permasalahan ini, maka kita akan tahu bahwa permasalahan ini “mendunia”. Ulama-ulama di dunia turut ambil andil dalam memfatwakan permasalahan ini. Sampai-sampai, Sebagian anggota MUI pusat pun turut berfatwa.
PENJELASAN TENTANG MENGAPA MEREKA (PARA ULAMA) MEMBOLEHKAN DAN MENGAPA MEREKA MELARANG?
Permasalahan ini bukanlah permasalah yang sepele. Kita harus menimbangnya dengan adil. Mungkin saja kita mengatakan “Sah bersai di sana.” atau “Tidak sah bersai di sana.”. Akan tetapi, setiap pernyataan yang kita ucapkan harus ada dalil dan buktinya.
Dimanakah kita bersai?
Allâh subhanahu wa ta’ala berfirman:
Artinya: “Sesungguhnya Shafâ dan Marwah adalah sebagian dari syi’ar Allah. Barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau berumrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sai antara keduanya. Barangsiapa yang mengerjakan suatu kebajikan (dengan kerelaan hati), maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri (kebaikan) lagi Maha Mengetahui.” (QS Al-Baqarah: 158)
Para ulama muslimin telah sepakat bahwa tempat sai adalah antara dua bukit (Shafâ dan Marwah). Tidak sah bersai kecuali di sana.
Berkata Ar-Ramlî Asy-Syâfi’î, “Disyaratkan (dalam bersai) untuk bersai di antara Shafa dan Marwah di setiap (lintasan) dan juga harus berada di lembah antara keduanya. Itu adalah mas’â (tempat sai) yang dikenal sekarang.”[3]
Berkata Al-Haththâb Al-Mâlikî, “Sai memiliki syarat-syarat…di antaranya adalah harusnya bersai di antara Shafâ dan Marwah. Kalau seseorang bersai di selain tempat itu…tidak sah sainya.”[4]
Para ulama dari dulu sampai sekarang tidak mempermasalahkan berapa panjang lintasan mas’â, karena sudah jelas bahwa panjangnya adalah antara dua bukit tersebut.
Akan tetapi para ulama di masa ini berbeda pendapat, “Berapakah lebar mas’â?”. Oleh karena itu, hal ini berlanjut ke permasalahan “Bolehkah kita bersai di mas’â yang baru?”
DALIL-DALIL YANG MEMBOLEHKAN
Para ulama yang membolehkan berdalil dengan hujah-hujah dibawah ini:
(Akan tetapi, perlu penulis tekankan bahwa bukan setiap dalil yang disebutkan di bawah ini seluruh ulama yang membolehkan berdalil dengannya, karena di antara dalil-dalil mereka ada yang sangat lemah dan tidak bisa dijadikan hujah. Penulis hanya mengumpulkan hujah-hujah para ulama tersebut)
Tidak ada dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah yang benar-benar pasti tentang penentuan lebar mas’â. Adapun pembatasan-pembatasan yang telah disebutkan oleh beberapa ulama-ulama sejarah dan fikih, itu hanyalah pembatasan yang taqrîb (pendekatan) dan taqrîr (keputusan) yang sesuai dengan keadaan pada saat itu dan kita tidak wajib mengikutinya.
Lebih dari tiga puluh orang tua (mereka adalah penduduk kota Mekkah. Bahkan di antara mereka mengatakan bahwa rumahnya berada di atas bukit Shafâ dan Marwah) bersaksi bahwa mas’â lebih lebar dari mas’â lama yang telah dibangun. Persaksian mereka sangat bisa diterima, karena:
- Untuk persaksian batas-batas, tempat-tempat, hilal-hilal dan bukit-bukit tidak disyaratkan harus menjadi seorang ulama. Orang-orang biasa (awam) pun, jika sering melewati tempat-tempat itu, maka mereka akan hapal dengan sendirinya dan tahu batas-batasnya.
- Mereka melihat dengan mata kepala mereka sendiri dan bukan dari cerita-cerita saja.
- Sebagaimana ketika dulu dalam penentuan batas Arafah dirasa cukup dengan persaksian dua orang, padahal ini berhubungan dengan ibadah yang sangat agung yaitu wukuf di arafah. Lalu mengapa ketika ada lebih dari tiga puluh orang bersaksi kita tidak menerima pendapat mereka?
- Sangat tidak masuk akal jika mereka salah dalam mengenal ciri-ciri dua bukit tersebut.
Adanya penelitian secara geologis, geografis dan catatan sejarah yang menunjukkan bahwa mas’â lebih lebar dari yang telah ada. Di antara penelitian tersebut adalah sebagai berikut:
- Ada foto-foto yang menunjukkan bahwa terdapat rumah-rumah di atas bukit Shafâ dan Marwah.
- Ada peta-peta zaman dahulu yang menunjukkan bahwa Shafâ lebih lebar.
- Berdasarkan catatan sejarah rumah Al-Arqam bin Abi Al-Arqam (Dârul-Arqam) dan Dârul-’Abbas berada di atas mas’â[5]. Dan rumah ini berada di sisi timur dari mas’â yang lama (sisi perlebaran yang sekarang ini).
- Berdasarkan catatan sejarah, dulu di mas’â terdapat pasar besar dan jalan-jalan[6].
Orang-orang yang membatasi lebar mas’â di dalam buku-buku sejarah dan fikih tidak bersepakat dalam pembatasannya. Di antara mereka ada yang mengatakan 5,35 hasta saja (hasta: satuan ukuran panjang dari ujung jari sampai siku-siku)[7], ada yang mengatakan 35 hasta ditambah 12 jari dan ada yang mengatakan 36,5 hasta. Berbeda dengan para saksi yang telah disebutkan. Mereka bersaksi bahwa mas’â lebih lebar dari yang mas’â lama.
Kalau kita melihat bukit Shafâ yang dulu sebelum perlebaran maka kita akan melihat bahwa kaki bukit itu terpotong dengan dinding. Kaki bukit yang terpotong itu tentu ada kelanjutannya dan tidak terbatas dengan dinding itu saja. Apa alasan kita tidak menerima bahwa perlebaran itu adalah perpanjangan kaki bukit yang terpotong?
Adapun Marwah, sudah jelas sekali bahwa dia sangat lebar dan tidak perlu dijadikan perdebatan.
Mengenai fatwa Syaikh Muhammad Ibrâhîm Alu Syaikh (mufti umum Saudi sebelum Syaikh Abdul-Aziz bin Baz) yang membatasi mas’â hanya 16 atau 17 meter saja, kita tidak mendapatkan bahwa tim yang dibentuk oleh Syaikh menggunakan para saksi dan mengadakan penelitian secara menyeluruh tentang Shafâ. Mereka hanya menetapkan sebagian dari Shafâ saja dan itu pun hanya taqrîbî (pendekatan).
“Keputusan hakim menyelesaikan perbedaan pendapat di dalam masalah ijtihadiah.” Ketika KSA melihat para ulama berbeda pendapat, maka KSA mengambil keputusan untuk memperlebar mas’â. Ini harus diikuti. Dan ini juga sebagai bentuk adab kita kepada waliyul-amri (pemerintah).
Umat sangat membutuhkan perlebaran ini. Mas’â yang ada dulu sangat sempit, sehingga menjadi tuntutan zaman untuk memperlebarnya. Ini juga sesuai dengan kaidah “Idzâ dhâqal-amru ittasa’a” (Jika sesuatu menjadi sempit/susah, maka ia akan menjadi luas/lapang). (Saya (Penulis) katakan, “Ini adalah hujah yang paling lemah, sebagaimana akan dijelaskan kebatilannya oleh ulama-ulama yang tidak membolehkannya.”)
Para ulama yang membolehkan perlebaran ini, di antaranya: Syaikh ‘Abdullâh Al-Manai’, Syaikh ‘Abdullâh Al-Muthlaq[8], Syaikh ‘Abdul-Wahhâb bin Ibrâhîm Abu Sulaimân (ketiga-tiganya adalah angggota Ha’iah Kibâr Al-’Ulamâ’), Syaikh Masyhûr, Syaikh Ali Hasan Al-Halabî, Syaikh Washyullâh ‘Abbâs, Syaikh Sulthân Al-’Îd dan masih banyak lagi –hafidzhahumullâh liljamî’-.
DALIL-DALIL YANG TIDAK MEMBOLEHKAN
Para ulama yang tidak membolehkan berdalil dengan hujah-hujah dibawah ini:
Dari dulu sampai sekarang mas’â diketahui dan dikenal dengan baik oleh kaum muslimin. Mereka mewariskannya dari zaman ke zaman. Di antara bukti-buktinya adalah beberapa catatan sejarah sebagai berikut:[9]
- Abul-Walîd Al-Azraqî (wafat 223 H/250 H/sekitar itu) di kitab ‘Akhbâru Makkah‘ (Jilid II hal. 119) menyebutkan, “Bahwa lebar mas’â –antara tanda yang terdapat di pintu masjid dengan tanda yang terdapat di dârul-’Abbâs- adalah 35,5 hasta.” (antara 16,4 meter s.d. 22 meter)[10]
- Di kitab ‘Al-Manâsik Wa Thuruqul-Hajj’ (hal. 502), “Lebar mas’â dari masjid Al-Haram sampai Darul-’Abbas adalah 32 hasta.” (antara 14,8 meter s.d. 20 meter)
- Al-Fâsi di dalam kitab ‘Syifâ’ul-gharâm’ (Jilid I hal. 519), “Jika jaraknya adalah antara pintu ‘Abbâs sampai Dârul-’Abbâs maka lebarnya adalah 31 hasta 5 jari. Jika dari tanda yang ada di atas menara yang dikenal di atas pintu ‘Ali sampai rumah yang dikenal dengan Dâru Salamah maka disebutkan bahwa lebarnya adalah 37,5 hasta ditambah seper-empat puluh dua hasta.” (antara 17,5 meter s.d. 24,1 meter)
- Al-Fâkihi di dalam kitab ‘Akhbâru Makkah‘ (Jilid II hal. 243) menyebutkan, “Lebar antara tanda yang ada di pintu masjid Al-Haram dengan Dârul-’Abbâs bin Abdul-Muththalib –itu adalah lebar mas’â- adalah 35 hasta 12 jari.” (antara 16,6 meter s.d. 22,4 meter)
- Adapun dari kalangan ulama yang belakangan, Ahli sejarah, Prof. Husain Bâsalâmah, dia mengatakan di dalam kitab ‘Tarikh ‘Imarâh Masjidil-harâm’ hal. 303, “Lebar dasar Shafâ yang terdapat tiga ikatan padanya adalah 12 meter.”
- Dan juga hasil penelitian tim yang dibebani oleh Raja KSA -yang terdiri dari: Syaikh Muhammad bin Ibrâhîm Alu Syaikh, Syaikh ‘Abdul-Malik bin Ibrâhîm, Syaikh ‘Abdullah Jasir, Syaikh ‘Abdullah Duhaisy, Syaikh ‘Alawi Al-Maliki, Syaikh Muhammad Al-Harkan, Syaikh Yahya Aman- untuk menghitung lebar mas’â. Mereka menetapkan bahwa lebar mas’â mencapai 16 meter. Sebagaimana bisa dilihat di Majmu’ Fatawa Syaikh Muhammad bin Ibrâhîm Alu Syaikh (Jilid V hal. 148)
Adapun perbedaan penelitian tim dengan penelitian Prof. Husain Bâsalâmah, itu terjadi karena Prof. Husain Bâsalâmah hanya menghitung dasar Shafâ yang terdapat tiga ikatan saja sedangkan tim menghitung dasar Shafâ secara menyeluruh.
Dan juga di beberapa kitab fikih bermazhab syafii sebagai berikut: Tuhfatul-Muhtâj, Hâsyiah Al-Bujairimi ‘ala al-minhâj, Hâsyiah al-Jamil, dan Hâsyiah Asy-Syarwâni.
Dari keterangan di atas kita bisa menyimpulkan bahwa:
- Mas’â pada zaman dahulu memiliki tanda-tanda yang dikenal, sehingga para ulama melarang untuk bersai di luar tanda-tanda itu atau sebagian mereka membolehkan untuk keluar sedikit dari tanda-tanda itu untuk suatu hajah (keperluan).
- Para ulama telah memberi batasan mas’â dengan pembatasan yang betul-betul detail dari abad ketiga sampai abad sekarang ini.
Bagaimana mungkin mas’â yang baru sekarang bisa menjadi 40 meter? Mengapa para ulama melarang bersai di luar batas-batas itu?
Dari dulu sampai zaman Syaikh Muhammad bin Ibrâhîm tidak ditemukan khilaf tentang lebar mas’â ini. Bahkan dengan lebar yang seperti itu, dibangunlah dinding-dinding yang membatasi mas’â lama dan tidak ada yang mengingkarinya. Kita bisa mengatakan bahwa ini adalah tawâtur ‘amali (mutawatir secara amalan dari masa ke masa). Mengapa sekarang ini terdengar pernyataan, “mas’â sebenarnya lebih lebar dari yang sebelumnya.”?
Inilah hukum asalnya, lebar mas’â seperti sedia kala. Orang-orang yang membolehkan perlebaran itu harus mendatangkan bukti nyata. Apakah mereka menemukannya?
Mengenai persaksian tiga puluh orang atau lebih, maka dikatakan kepada mereka:
- Mereka (para saksi) tidak bersepakat dalam menyebutkan berapa lebar mas’â tersebut. Ada yang mengatakan 35 meter, ada yang mengatakan 50 meter dan seterusnya.
- Persaksian mereka berbeda dengan persaksian tim peneliti yang diketuai oleh Syaikh Muhammad bin Ibrâhîm. Jika kita mau bandingkan kedua kesaksian tersebut, tentunya kita akan mengedepankan persaksian tim peneliti, karena mereka adalah para ulama pada saat itu dan mereka diberi tanggung jawab khusus untuk meneliti.
- Para saksi itu tidak ada yang mengatakan bahwa pada saat itu ada orang yang bersai d luar batas-batas atau tanda-tanda yang terpasang.
- Para saksi bersaksi setelah lebih dari lima puluh tahun dari saat mereka melihat Shafâ. Kemungkinan untuk salah sangat besar sekali.
- Kesaksian tim peneliti tidak hanya dengan mata kepala mereka saja, tetapi juga dengan melihat buku-buku sejarah.
Mengenai penelitian secara geologis, ini adalah pendapat yang lemah. Kita tidak perlu melihat sampai ke bawah tanah untuk menentukan batasan-batasan tempat yang dipakai untuk ibadah.
Mengenai “Keputusan hakim menyelesaikan perbedaan pendapat di dalam masalah ijtihadiah.” Maka dikatakan kepada mereka:
- Perbedaan pendapat ini baru-baru saja terjadi. Telah terjadi ijmâ’ sebelumnya.
- Yang dimaksud dengan hakim di sini bukanlah sulthân (pemerintah) tetapi qâdhi (hakim agama). Sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikhul-Islâm Ibnu Taimiah, “Adapun hukumnya hakim, maka yang dimaksud adalah hukumnya qâdhi.” (Majmû’ Fatâwa Jilid 35 hal. 376)
- Kaidah ini dipakai pada pemasalahan-permasalahan yang berhubungan dengan muamalat dan perselisihan antara manusia, tidak pada permasalahan-permasalahan ibadah.
Mengenai kaidah “Idzâ dhâqal-amru ittasa’a” (Jika sesuatu menjadi sempit/susah, maka ia akan menjadi luas/lapang). Maka dikatakan kepada mereka:
- Mas’â yang lama masih cukup untuk menampung orang-orang yang bersai.
- Untuk mengantisipasi keramaian di mas’â masih bisa di atasi dengan menutup pintu masuk ke mas’â dan setelah mas’â tidak ramai maka barulah dibuka.
- Mengapa tidak ditambah tingkat bangunannya saja?
- Darurat tidak terjadi pada hari-hari biasa (selain bulan Ramadan dan Haji). Mengapa mereka masih membolehkan untuk bersai di sana?
Para ulama yang tidak membolehkan perlebaran ini, di antaranya: Syaikh Shâlih bin Fauzân Al-Fauzân (Anggota Lajnah Daimah), Syaikh Shâlih bin ‘Abdil-’azîz As-Sindî dan masih banyak lagi yang lain. –hafidzhahumullah liljami’-
AKIBAT-AKIBAT YANG DITIMBULKAN DARI KEDUA PENDAPAT
Akibat-akibat yang ditimbulkan dari pendapat yang membolehkan:
Dibangunlah mas’â baru dengan lebar 40 meter dengan 4 tingkat. Ini tentunya menghabiskan biaya yang sangat besar, sebagaimana telah kami sebutkan di atas.
Kaum muslimin bisa bersai dengan lebih santai dan khusyuk tanpa terancam bahaya keramaian orang-orang yang bersai.
Daya tampung masjid haram bertambah besar.
Orang-orang yang memakai kursi roda bisa lebih nyaman, dst-nya.
Akibat-akibat yang ditimbulkan dari pendapat yang tidak membolehkan:
Tidak sah bersai di perlebaran mas’â baru. Hal ini berdampak:
Haji dan umrah menjadi tidak sah.
Orang yang berihram masih dalam keadaan ihramnya walaupun dia sudah kembali ke negaranya masing-masing, karena belum mengerjakan salah satu rukun haji. Kecuali dia kembali ke makkah untuk bersai dan bertahallul.
Apabila mas’â lama ditutup oleh pemerintah dan tidak memungkinkan untuk bersai kecuali di perlebaran mas’â baru, maka dia seperti muhshar (orang yang dihalangi untuk menyelesaikan ibadah haji atau umrah).
Apabila pada saat ihram dia tidak bersyarat[11], maka dia akan terkena dam muhshar (menyembelih satu kambing) untuk dapat keluar dari ihramnya. Apabila dia bersyarat, maka tidak ada kewajiban apa-apa baginya ketika keluar dari ihramnya.
TAWAQQUF (TIDAK BERFATWA) DALAM PERMASALAHAN INI
Ketika kita memperhatikan hujah-hujah masing-masing pendapat, maka tentu sangat susah sekali untuk memutuskan yang mana yang benar dan mana yang salah. Di antara ulama-ulama yang masih tawaqquf dalam permasalahan ini adalah: Syaikh ‘Abdullâh Al-Ghudayyân[12] (Anggota Lajnah Dâimah), Syaikh Sulaimân Ar-Ruhailî, Syaikh Ibrâhîm Ar-Ruhailî dan masih banyak lagi yang lain. –hafidzhahumullah liljami’-
KESIMPULAN DAN PENUTUP
Permasalahan ini masih diperselisihkan oleh para ulama dan masih dalam tahap penelitian.
Bagi yang mau berumrah sebaiknya -kalau bisa dan tidak sulit- agar bersai di mas’â yang lama. Ini untuk berhati-hati (ihthiyathan)
3. Bagi yang bersai di tempat yang baru, maka insya Allah sai dan hajinya sah, karena telah ada ijtihad dan fatwa dari para ulama yang membolehkan.
Perlu penulis tekankan bahwa permasalahan ini belumlah “final”. Fatwa para ulama bisa saja berubah-ubah, sesuai dengan informasi-informasi yang mereka dapatkan. Oleh karena itu, penulis nasihatkan kepada diri penulis, pembaca dan kaum muslimin agar jangan terlalu tergesa-gesa dalam menghukumi sesuatu. Apalagi mengejek dan merendahkan pendapat orang lain yang belum tentu jelas kesalahannya. Berfatwa sangat besar bahaya dan resikonya.
Permasalahan ini sangatlah besar dan rumit. Oleh karena itu, janganlah memberanikan diri untuk berkecimpung di dalamnya kecuali benar-benar sudah meneliti. Sudah sepantasnya kita mengetahui kadar ilmu kita masing-masing.
Mudah-mudahan tulisan ini bermanfaat untuk kaum muslimin, terutama yang hendak mengerjakan haji dan umrah. Amin.
Madînah Nabawiyah, Shafar 1430 H.
DAFTAR PUSTAKA
Fatwa Syaikh Shâlih Al-Fauzân. http://www.mahaja.com/forum/archive/index.php/f-20.htm
Hukmut-Tausi’ah Al-Jadidah lil-Mas’â . Syaikh Masyhûr bin Hasan Alu Salmân. http://www.mashhoor.net
Kalimatun haqq fi tausi’atil-mas’â (dirasah amaliyah târîkhiyah ‘an hukmi tausi’atil-mas’â. Dr. Shâlih bin ‘Abdil-Azîz As-Sindî. http://www.mahaja.com/forum/archive/index.php/f-20.htm
Kalimatun Ukhra fi Tausi’atil-Mas’â. Syaikh ‘Abdul-Muhsin Al-’Abbâd. http://www.mahaja.com/forum/archive/index.php/f-20.htm
Majalah Ad-Dâwah. Riyadh-KSA. Edisi : 2137, 2138, 2139, 2140, 2143, 2144 dan 2145.
Dll (Tercantum di catatan kaki)
CATATAN DARI KAMI
Makalah antum bagus dan kami berencana untuk menerbitkannya di Majalah, hanya saja ada beberapa hal yang kami rubah dan edit seperti perubahan di atas, kalau antum setuju maka kami akan menerbitkannya bulan depan, tapi kalau tidak setuju kami harap antum membahasnya lebih dalam lagi, kami sarankan kepada buku Syaikh Masyhur bin Hasan tentang masalah ini yang sudah tercetak oleh Dar Atsariyyah, Yordania. Semoga kami bisa memuatnya bulan Dzulhijjah.
Perubahan yang kami lakukan dalam beberapa hal berikut:
- Kesimpulan, agar tidak terkesan ngambang tanpa kesimpulan yang jelas.
- Kami menghilangkan pendapat Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad karena ada beberapa qoul beliau yang berbeda-beda dalam masalah ini, sebab di buku Syaikh Masyhur dicantumkan fatwa akhir beliau adalah membolehkan, Wallahu A’lam.
Kami berharap antum bisa mengirimkan artikel-artikel lainnya yang berbobot dan belum pernah dimuat oleh Majalah, terutama masalah aqidah, semoga kita bisa memuatnya.
Tentang artikel “Kunci-Kunci Kebaikan” kami mohon maaf tidak bisa memuatnya karena kami sudah pernah memuat tema yang sama di majalah ini, tapi insyallah kami akan coba tawarkan ke Majalah al-Mawaddah, barangkali mereka menerima.
Semoga Allah menambahkan ilmu bagi kita semua dan menjadikan kita para du’at kepada al-haq.
[1] Diringkas dari Majalah Ad-Daawah, Edisi 2137, 26 Rabi’ul-awwal 1429 H. hal. 24-25.
[2] Dinukil dari wawancara beliau dengan Majalah Ad-Daawah, Edisi 2144, 17 Jumadal-Ula 1429 H. hal 44-47.
[3] Nihâyatul-Muhtaj (3/291). Dârul-fikar.
[4] Mawâhib Al-Jalîl lisyarhi mukhtashar khalîl (4/118). Dâr ‘Alam Al-Kutub.
[5] Lihat perkataan Mujahid di Mushannaf Ibni Abi Syaibah (5/245). Ar-Rusyd. Dinukil dari makalah Hukmut-Tausi’ah Al-Jadîdah lil-Mas’â . Syaikh Masyhûr bin Hasan Alu Salmân.
[6] Lihat Ar-Rihalât hal. 363. Abdul-Wahhâb ‘Azzâm. Dinukil dari makalah Hukmut-Tausi’ah Al-Jadîdah lil-Mas’â.
[7] Para ulama berbeda pendapat tentang panjang hasta. Ini terjadi karena tangan manusia berbeda-beda panjangnya. Menurut Mu’jam Lughah Al-Fuqahâ’ panjang 1 hasta adalah 46,2 cm, sedangkan menurut Al-Mu’jam Al-Wasîth 64 cm.
[8] Penulis tanyakan langsung di Lajnah Daimah, Riyadh.
[9] Seluruh nukilan-nukilan ini diambil dan diringkas dari Makalah ‘kalimatun Haqq Fi Tausi’atil-Mas’a’ yang ditulis oleh Syaikh kami Shalih bin ‘Abdil-’Aziz As-Sindi –hafidzhahullah-
[10] Ukuran pendekatan saja. Sebagaimana telah penulis jelaskan di catatan kaki sebelumnya.
[11] Yaitu dengan mengucapkan, “In habasani habis fa mahilli haitsu habastani” (Jika suatu ketika ada yang menghalangiku, maka tempat halalku adalah ditempat di mana engkau menghalangiku (ya Allah).”
[12] Penulis tanyakan langsung di Lajnah Daimah, Riyadh.
Download SAHKAH SAI DI MASA BARU
oleh saidyai
Oleh : Ustadz Abu Ahmad Said Yai, Lc.
Perlu kita ingat bahwa bersai termasuk rukun-rukun haji/umrah yang harus dikerjakan. Apabila ini ditinggalkan –baik sengaja, maupun tidak- maka ibadah haji/umrah menjadi tidak sah. Oleh karena itu, setiap jamaah haji harus memperhatikan dengan seksama pelaksanaan sainya. Jika tidak, maka bisa berakibat fatal.
Nah, di antara masalah kontemporer yang perlu diketahui bersama adalah masalah sai di tempat sai yang baru, apakah hal itu diperbolehkan ataukah tidak? Masalah ini adalah masalah penting yang hangat dibicarakan oleh para ulama kita masa kini. Berikut ulasan ringkas dari kami sebagai wawasan ilmu bagi kita semua. Amin.
PERAN KSA UNTUK PELAKSANAAN HAJI DAN UMRAH
Berbicara tentang haji dan umrah, tentunya tidak bisa dilepaskan dengan Kerajaan Saudi Arabia (KSA). Karena Mekkah, Arafah, Muzdalifah dan Mina berada di dalam wilayah kekuasaannya.
KSA telah mengeluarkan banyak biaya untuk memfasilitasi tamu-tamu Allah yang berhaji dan berumrah di tiap tahun.Di antara bentuk nyata perhatian KSA untuk pelaksanaan haji dan umrah adalah memperlebar mas’â (tempat bersai). Yang tadinya hanya 20 meter saja, sekarang menjadi 40 meter ke arah timur (luar masjid). Tidak hanya itu, KSA juga menjadikannya empat tingkat -yang tadinya hanya tiga tingkat-.
Dengan diperlebarnya mas’a ini, jamaah haji bisa dengan leluasa bersai tanpa harus berdesak-desakan, tidak seperti tahun-tahun sebelumnya. Bahkan dikatakan bahwa dengan jadinya mas’â yang baru ini, maka akan bisa menampung 3,84 juta orang dalam satu hari untuk bersai di sana.
Pembaca yang budiman, Tahukah pembaca, berapa besar biaya yang harus dikeluarkan oleh KSA untuk mewujudkan ini semua? Jawabannya adalah 2 miliyar 985 juta Riyal Saudi (Sekitar Rp 8,955 triliun)[1].
PERLEBARAN YANG MEMBAWA KHILAF (PERBEDAAN PENDAPAT)
Dengan diperlebarnya mas’â itu, ternyata menjadikan para ulama khilaf (berbeda pendapat). Perlu diketahui bahwa sebelum Pemerintah KSA memperlebar mas’â ini, Pemerintah KSA sudah mengumpulkan para ulama di Hai’ah Kibâr Al-’Ulamâ’ (Majelis Ulama-ulama Besar) KSA. Ternyata di antara mereka sendiri pun terjadi khilaf sampai saat ini.
Hai’ah Kibâr Al-’Ulamâ’ dan Lajnah Dâimah sampai saat ini belum mengeluarkan qarâr (keputusan) tentang hal ini. Mereka berdalih bahwa permasalahan ini masih harus diadakan penelitian lebih lanjut.
Dengan keadaan seperti itu, pemerintah KSA mengambil keputusan untuk mengikuti fatwa para ulama yang membolehkan. Di antara penelitian yang dijadikan acuan oleh pemerintah KSA adalah penelitian yang dilakukan oleh Syaikh ‘Abdul-Wahhâb bin Ibrâhîm Abu Sulaimân (salah satu angggota Hai’ah Kibâr Al-’Ulamâ’) dan penelitian yang dilakukan oleh Ma’had Abhâtsil-haramain (Badan untuk Penelitian Dua Tanah Haram) dan Hai’ah Al-Masâhah al-jiyûlûjiyah (Badan peneliti geologis).
Syaikh ‘Abdul-Wahhâb mengatakan dalam muqaddimah penelitiannya bahwa untuk menghasilkan kesimpulan ini, dia benar-benar meneliti dan tidak terpengaruh dengan apapun (tajarrud) dalam penelitiannya.[2]
Kalau kita mengikuti perkembangan di media-media massa tentang permasalahan ini, maka kita akan tahu bahwa permasalahan ini “mendunia”. Ulama-ulama di dunia turut ambil andil dalam memfatwakan permasalahan ini. Sampai-sampai, Sebagian anggota MUI pusat pun turut berfatwa.
PENJELASAN TENTANG MENGAPA MEREKA (PARA ULAMA) MEMBOLEHKAN DAN MENGAPA MEREKA MELARANG?
Permasalahan ini bukanlah permasalah yang sepele. Kita harus menimbangnya dengan adil. Mungkin saja kita mengatakan “Sah bersai di sana.” atau “Tidak sah bersai di sana.”. Akan tetapi, setiap pernyataan yang kita ucapkan harus ada dalil dan buktinya.
Dimanakah kita bersai?
Allâh subhanahu wa ta’ala berfirman:
Artinya: “Sesungguhnya Shafâ dan Marwah adalah sebagian dari syi’ar Allah. Barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau berumrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sai antara keduanya. Barangsiapa yang mengerjakan suatu kebajikan (dengan kerelaan hati), maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri (kebaikan) lagi Maha Mengetahui.” (QS Al-Baqarah: 158)
Para ulama muslimin telah sepakat bahwa tempat sai adalah antara dua bukit (Shafâ dan Marwah). Tidak sah bersai kecuali di sana.
Berkata Ar-Ramlî Asy-Syâfi’î, “Disyaratkan (dalam bersai) untuk bersai di antara Shafa dan Marwah di setiap (lintasan) dan juga harus berada di lembah antara keduanya. Itu adalah mas’â (tempat sai) yang dikenal sekarang.”[3]
Berkata Al-Haththâb Al-Mâlikî, “Sai memiliki syarat-syarat…di antaranya adalah harusnya bersai di antara Shafâ dan Marwah. Kalau seseorang bersai di selain tempat itu…tidak sah sainya.”[4]
Para ulama dari dulu sampai sekarang tidak mempermasalahkan berapa panjang lintasan mas’â, karena sudah jelas bahwa panjangnya adalah antara dua bukit tersebut.
Akan tetapi para ulama di masa ini berbeda pendapat, “Berapakah lebar mas’â?”. Oleh karena itu, hal ini berlanjut ke permasalahan “Bolehkah kita bersai di mas’â yang baru?”
DALIL-DALIL YANG MEMBOLEHKAN
Para ulama yang membolehkan berdalil dengan hujah-hujah dibawah ini:
(Akan tetapi, perlu penulis tekankan bahwa bukan setiap dalil yang disebutkan di bawah ini seluruh ulama yang membolehkan berdalil dengannya, karena di antara dalil-dalil mereka ada yang sangat lemah dan tidak bisa dijadikan hujah. Penulis hanya mengumpulkan hujah-hujah para ulama tersebut)
Tidak ada dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah yang benar-benar pasti tentang penentuan lebar mas’â. Adapun pembatasan-pembatasan yang telah disebutkan oleh beberapa ulama-ulama sejarah dan fikih, itu hanyalah pembatasan yang taqrîb (pendekatan) dan taqrîr (keputusan) yang sesuai dengan keadaan pada saat itu dan kita tidak wajib mengikutinya.
Lebih dari tiga puluh orang tua (mereka adalah penduduk kota Mekkah. Bahkan di antara mereka mengatakan bahwa rumahnya berada di atas bukit Shafâ dan Marwah) bersaksi bahwa mas’â lebih lebar dari mas’â lama yang telah dibangun. Persaksian mereka sangat bisa diterima, karena:
- Untuk persaksian batas-batas, tempat-tempat, hilal-hilal dan bukit-bukit tidak disyaratkan harus menjadi seorang ulama. Orang-orang biasa (awam) pun, jika sering melewati tempat-tempat itu, maka mereka akan hapal dengan sendirinya dan tahu batas-batasnya.
- Mereka melihat dengan mata kepala mereka sendiri dan bukan dari cerita-cerita saja.
- Sebagaimana ketika dulu dalam penentuan batas Arafah dirasa cukup dengan persaksian dua orang, padahal ini berhubungan dengan ibadah yang sangat agung yaitu wukuf di arafah. Lalu mengapa ketika ada lebih dari tiga puluh orang bersaksi kita tidak menerima pendapat mereka?
- Sangat tidak masuk akal jika mereka salah dalam mengenal ciri-ciri dua bukit tersebut.
Adanya penelitian secara geologis, geografis dan catatan sejarah yang menunjukkan bahwa mas’â lebih lebar dari yang telah ada. Di antara penelitian tersebut adalah sebagai berikut:
- Ada foto-foto yang menunjukkan bahwa terdapat rumah-rumah di atas bukit Shafâ dan Marwah.
- Ada peta-peta zaman dahulu yang menunjukkan bahwa Shafâ lebih lebar.
- Berdasarkan catatan sejarah rumah Al-Arqam bin Abi Al-Arqam (Dârul-Arqam) dan Dârul-’Abbas berada di atas mas’â[5]. Dan rumah ini berada di sisi timur dari mas’â yang lama (sisi perlebaran yang sekarang ini).
- Berdasarkan catatan sejarah, dulu di mas’â terdapat pasar besar dan jalan-jalan[6].
Orang-orang yang membatasi lebar mas’â di dalam buku-buku sejarah dan fikih tidak bersepakat dalam pembatasannya. Di antara mereka ada yang mengatakan 5,35 hasta saja (hasta: satuan ukuran panjang dari ujung jari sampai siku-siku)[7], ada yang mengatakan 35 hasta ditambah 12 jari dan ada yang mengatakan 36,5 hasta. Berbeda dengan para saksi yang telah disebutkan. Mereka bersaksi bahwa mas’â lebih lebar dari yang mas’â lama.
Kalau kita melihat bukit Shafâ yang dulu sebelum perlebaran maka kita akan melihat bahwa kaki bukit itu terpotong dengan dinding. Kaki bukit yang terpotong itu tentu ada kelanjutannya dan tidak terbatas dengan dinding itu saja. Apa alasan kita tidak menerima bahwa perlebaran itu adalah perpanjangan kaki bukit yang terpotong?
Adapun Marwah, sudah jelas sekali bahwa dia sangat lebar dan tidak perlu dijadikan perdebatan.
Mengenai fatwa Syaikh Muhammad Ibrâhîm Alu Syaikh (mufti umum Saudi sebelum Syaikh Abdul-Aziz bin Baz) yang membatasi mas’â hanya 16 atau 17 meter saja, kita tidak mendapatkan bahwa tim yang dibentuk oleh Syaikh menggunakan para saksi dan mengadakan penelitian secara menyeluruh tentang Shafâ. Mereka hanya menetapkan sebagian dari Shafâ saja dan itu pun hanya taqrîbî (pendekatan).
“Keputusan hakim menyelesaikan perbedaan pendapat di dalam masalah ijtihadiah.” Ketika KSA melihat para ulama berbeda pendapat, maka KSA mengambil keputusan untuk memperlebar mas’â. Ini harus diikuti. Dan ini juga sebagai bentuk adab kita kepada waliyul-amri (pemerintah).
Umat sangat membutuhkan perlebaran ini. Mas’â yang ada dulu sangat sempit, sehingga menjadi tuntutan zaman untuk memperlebarnya. Ini juga sesuai dengan kaidah “Idzâ dhâqal-amru ittasa’a” (Jika sesuatu menjadi sempit/susah, maka ia akan menjadi luas/lapang). (Saya (Penulis) katakan, “Ini adalah hujah yang paling lemah, sebagaimana akan dijelaskan kebatilannya oleh ulama-ulama yang tidak membolehkannya.”)
Para ulama yang membolehkan perlebaran ini, di antaranya: Syaikh ‘Abdullâh Al-Manai’, Syaikh ‘Abdullâh Al-Muthlaq[8], Syaikh ‘Abdul-Wahhâb bin Ibrâhîm Abu Sulaimân (ketiga-tiganya adalah angggota Ha’iah Kibâr Al-’Ulamâ’), Syaikh Masyhûr, Syaikh Ali Hasan Al-Halabî, Syaikh Washyullâh ‘Abbâs, Syaikh Sulthân Al-’Îd dan masih banyak lagi –hafidzhahumullâh liljamî’-.
DALIL-DALIL YANG TIDAK MEMBOLEHKAN
Para ulama yang tidak membolehkan berdalil dengan hujah-hujah dibawah ini:
Dari dulu sampai sekarang mas’â diketahui dan dikenal dengan baik oleh kaum muslimin. Mereka mewariskannya dari zaman ke zaman. Di antara bukti-buktinya adalah beberapa catatan sejarah sebagai berikut:[9]
- Abul-Walîd Al-Azraqî (wafat 223 H/250 H/sekitar itu) di kitab ‘Akhbâru Makkah‘ (Jilid II hal. 119) menyebutkan, “Bahwa lebar mas’â –antara tanda yang terdapat di pintu masjid dengan tanda yang terdapat di dârul-’Abbâs- adalah 35,5 hasta.” (antara 16,4 meter s.d. 22 meter)[10]
- Di kitab ‘Al-Manâsik Wa Thuruqul-Hajj’ (hal. 502), “Lebar mas’â dari masjid Al-Haram sampai Darul-’Abbas adalah 32 hasta.” (antara 14,8 meter s.d. 20 meter)
- Al-Fâsi di dalam kitab ‘Syifâ’ul-gharâm’ (Jilid I hal. 519), “Jika jaraknya adalah antara pintu ‘Abbâs sampai Dârul-’Abbâs maka lebarnya adalah 31 hasta 5 jari. Jika dari tanda yang ada di atas menara yang dikenal di atas pintu ‘Ali sampai rumah yang dikenal dengan Dâru Salamah maka disebutkan bahwa lebarnya adalah 37,5 hasta ditambah seper-empat puluh dua hasta.” (antara 17,5 meter s.d. 24,1 meter)
- Al-Fâkihi di dalam kitab ‘Akhbâru Makkah‘ (Jilid II hal. 243) menyebutkan, “Lebar antara tanda yang ada di pintu masjid Al-Haram dengan Dârul-’Abbâs bin Abdul-Muththalib –itu adalah lebar mas’â- adalah 35 hasta 12 jari.” (antara 16,6 meter s.d. 22,4 meter)
- Adapun dari kalangan ulama yang belakangan, Ahli sejarah, Prof. Husain Bâsalâmah, dia mengatakan di dalam kitab ‘Tarikh ‘Imarâh Masjidil-harâm’ hal. 303, “Lebar dasar Shafâ yang terdapat tiga ikatan padanya adalah 12 meter.”
- Dan juga hasil penelitian tim yang dibebani oleh Raja KSA -yang terdiri dari: Syaikh Muhammad bin Ibrâhîm Alu Syaikh, Syaikh ‘Abdul-Malik bin Ibrâhîm, Syaikh ‘Abdullah Jasir, Syaikh ‘Abdullah Duhaisy, Syaikh ‘Alawi Al-Maliki, Syaikh Muhammad Al-Harkan, Syaikh Yahya Aman- untuk menghitung lebar mas’â. Mereka menetapkan bahwa lebar mas’â mencapai 16 meter. Sebagaimana bisa dilihat di Majmu’ Fatawa Syaikh Muhammad bin Ibrâhîm Alu Syaikh (Jilid V hal. 148)
Adapun perbedaan penelitian tim dengan penelitian Prof. Husain Bâsalâmah, itu terjadi karena Prof. Husain Bâsalâmah hanya menghitung dasar Shafâ yang terdapat tiga ikatan saja sedangkan tim menghitung dasar Shafâ secara menyeluruh.
Dan juga di beberapa kitab fikih bermazhab syafii sebagai berikut: Tuhfatul-Muhtâj, Hâsyiah Al-Bujairimi ‘ala al-minhâj, Hâsyiah al-Jamil, dan Hâsyiah Asy-Syarwâni.
Dari keterangan di atas kita bisa menyimpulkan bahwa:
- Mas’â pada zaman dahulu memiliki tanda-tanda yang dikenal, sehingga para ulama melarang untuk bersai di luar tanda-tanda itu atau sebagian mereka membolehkan untuk keluar sedikit dari tanda-tanda itu untuk suatu hajah (keperluan).
- Para ulama telah memberi batasan mas’â dengan pembatasan yang betul-betul detail dari abad ketiga sampai abad sekarang ini.
Bagaimana mungkin mas’â yang baru sekarang bisa menjadi 40 meter? Mengapa para ulama melarang bersai di luar batas-batas itu?
Dari dulu sampai zaman Syaikh Muhammad bin Ibrâhîm tidak ditemukan khilaf tentang lebar mas’â ini. Bahkan dengan lebar yang seperti itu, dibangunlah dinding-dinding yang membatasi mas’â lama dan tidak ada yang mengingkarinya. Kita bisa mengatakan bahwa ini adalah tawâtur ‘amali (mutawatir secara amalan dari masa ke masa). Mengapa sekarang ini terdengar pernyataan, “mas’â sebenarnya lebih lebar dari yang sebelumnya.”?
Inilah hukum asalnya, lebar mas’â seperti sedia kala. Orang-orang yang membolehkan perlebaran itu harus mendatangkan bukti nyata. Apakah mereka menemukannya?
Mengenai persaksian tiga puluh orang atau lebih, maka dikatakan kepada mereka:
- Mereka (para saksi) tidak bersepakat dalam menyebutkan berapa lebar mas’â tersebut. Ada yang mengatakan 35 meter, ada yang mengatakan 50 meter dan seterusnya.
- Persaksian mereka berbeda dengan persaksian tim peneliti yang diketuai oleh Syaikh Muhammad bin Ibrâhîm. Jika kita mau bandingkan kedua kesaksian tersebut, tentunya kita akan mengedepankan persaksian tim peneliti, karena mereka adalah para ulama pada saat itu dan mereka diberi tanggung jawab khusus untuk meneliti.
- Para saksi itu tidak ada yang mengatakan bahwa pada saat itu ada orang yang bersai d luar batas-batas atau tanda-tanda yang terpasang.
- Para saksi bersaksi setelah lebih dari lima puluh tahun dari saat mereka melihat Shafâ. Kemungkinan untuk salah sangat besar sekali.
- Kesaksian tim peneliti tidak hanya dengan mata kepala mereka saja, tetapi juga dengan melihat buku-buku sejarah.
Mengenai penelitian secara geologis, ini adalah pendapat yang lemah. Kita tidak perlu melihat sampai ke bawah tanah untuk menentukan batasan-batasan tempat yang dipakai untuk ibadah.
Mengenai “Keputusan hakim menyelesaikan perbedaan pendapat di dalam masalah ijtihadiah.” Maka dikatakan kepada mereka:
- Perbedaan pendapat ini baru-baru saja terjadi. Telah terjadi ijmâ’ sebelumnya.
- Yang dimaksud dengan hakim di sini bukanlah sulthân (pemerintah) tetapi qâdhi (hakim agama). Sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikhul-Islâm Ibnu Taimiah, “Adapun hukumnya hakim, maka yang dimaksud adalah hukumnya qâdhi.” (Majmû’ Fatâwa Jilid 35 hal. 376)
- Kaidah ini dipakai pada pemasalahan-permasalahan yang berhubungan dengan muamalat dan perselisihan antara manusia, tidak pada permasalahan-permasalahan ibadah.
Mengenai kaidah “Idzâ dhâqal-amru ittasa’a” (Jika sesuatu menjadi sempit/susah, maka ia akan menjadi luas/lapang). Maka dikatakan kepada mereka:
- Mas’â yang lama masih cukup untuk menampung orang-orang yang bersai.
- Untuk mengantisipasi keramaian di mas’â masih bisa di atasi dengan menutup pintu masuk ke mas’â dan setelah mas’â tidak ramai maka barulah dibuka.
- Mengapa tidak ditambah tingkat bangunannya saja?
- Darurat tidak terjadi pada hari-hari biasa (selain bulan Ramadan dan Haji). Mengapa mereka masih membolehkan untuk bersai di sana?
Para ulama yang tidak membolehkan perlebaran ini, di antaranya: Syaikh Shâlih bin Fauzân Al-Fauzân (Anggota Lajnah Daimah), Syaikh Shâlih bin ‘Abdil-’azîz As-Sindî dan masih banyak lagi yang lain. –hafidzhahumullah liljami’-
AKIBAT-AKIBAT YANG DITIMBULKAN DARI KEDUA PENDAPAT
Akibat-akibat yang ditimbulkan dari pendapat yang membolehkan:
Dibangunlah mas’â baru dengan lebar 40 meter dengan 4 tingkat. Ini tentunya menghabiskan biaya yang sangat besar, sebagaimana telah kami sebutkan di atas.
Kaum muslimin bisa bersai dengan lebih santai dan khusyuk tanpa terancam bahaya keramaian orang-orang yang bersai.
Daya tampung masjid haram bertambah besar.
Orang-orang yang memakai kursi roda bisa lebih nyaman, dst-nya.
Akibat-akibat yang ditimbulkan dari pendapat yang tidak membolehkan:
Tidak sah bersai di perlebaran mas’â baru. Hal ini berdampak:
Haji dan umrah menjadi tidak sah.
Orang yang berihram masih dalam keadaan ihramnya walaupun dia sudah kembali ke negaranya masing-masing, karena belum mengerjakan salah satu rukun haji. Kecuali dia kembali ke makkah untuk bersai dan bertahallul.
Apabila mas’â lama ditutup oleh pemerintah dan tidak memungkinkan untuk bersai kecuali di perlebaran mas’â baru, maka dia seperti muhshar (orang yang dihalangi untuk menyelesaikan ibadah haji atau umrah).
Apabila pada saat ihram dia tidak bersyarat[11], maka dia akan terkena dam muhshar (menyembelih satu kambing) untuk dapat keluar dari ihramnya. Apabila dia bersyarat, maka tidak ada kewajiban apa-apa baginya ketika keluar dari ihramnya.
TAWAQQUF (TIDAK BERFATWA) DALAM PERMASALAHAN INI
Ketika kita memperhatikan hujah-hujah masing-masing pendapat, maka tentu sangat susah sekali untuk memutuskan yang mana yang benar dan mana yang salah. Di antara ulama-ulama yang masih tawaqquf dalam permasalahan ini adalah: Syaikh ‘Abdullâh Al-Ghudayyân[12] (Anggota Lajnah Dâimah), Syaikh Sulaimân Ar-Ruhailî, Syaikh Ibrâhîm Ar-Ruhailî dan masih banyak lagi yang lain. –hafidzhahumullah liljami’-
KESIMPULAN DAN PENUTUP
Permasalahan ini masih diperselisihkan oleh para ulama dan masih dalam tahap penelitian.
Bagi yang mau berumrah sebaiknya -kalau bisa dan tidak sulit- agar bersai di mas’â yang lama. Ini untuk berhati-hati (ihthiyathan)
3. Bagi yang bersai di tempat yang baru, maka insya Allah sai dan hajinya sah, karena telah ada ijtihad dan fatwa dari para ulama yang membolehkan.
Perlu penulis tekankan bahwa permasalahan ini belumlah “final”. Fatwa para ulama bisa saja berubah-ubah, sesuai dengan informasi-informasi yang mereka dapatkan. Oleh karena itu, penulis nasihatkan kepada diri penulis, pembaca dan kaum muslimin agar jangan terlalu tergesa-gesa dalam menghukumi sesuatu. Apalagi mengejek dan merendahkan pendapat orang lain yang belum tentu jelas kesalahannya. Berfatwa sangat besar bahaya dan resikonya.
Permasalahan ini sangatlah besar dan rumit. Oleh karena itu, janganlah memberanikan diri untuk berkecimpung di dalamnya kecuali benar-benar sudah meneliti. Sudah sepantasnya kita mengetahui kadar ilmu kita masing-masing.
Mudah-mudahan tulisan ini bermanfaat untuk kaum muslimin, terutama yang hendak mengerjakan haji dan umrah. Amin.
Madînah Nabawiyah, Shafar 1430 H.
DAFTAR PUSTAKA
Fatwa Syaikh Shâlih Al-Fauzân. http://www.mahaja.com/forum/archive/index.php/f-20.htm
Hukmut-Tausi’ah Al-Jadidah lil-Mas’â . Syaikh Masyhûr bin Hasan Alu Salmân. http://www.mashhoor.net
Kalimatun haqq fi tausi’atil-mas’â (dirasah amaliyah târîkhiyah ‘an hukmi tausi’atil-mas’â. Dr. Shâlih bin ‘Abdil-Azîz As-Sindî. http://www.mahaja.com/forum/archive/index.php/f-20.htm
Kalimatun Ukhra fi Tausi’atil-Mas’â. Syaikh ‘Abdul-Muhsin Al-’Abbâd. http://www.mahaja.com/forum/archive/index.php/f-20.htm
Majalah Ad-Dâwah. Riyadh-KSA. Edisi : 2137, 2138, 2139, 2140, 2143, 2144 dan 2145.
Dll (Tercantum di catatan kaki)
CATATAN DARI KAMI
Makalah antum bagus dan kami berencana untuk menerbitkannya di Majalah, hanya saja ada beberapa hal yang kami rubah dan edit seperti perubahan di atas, kalau antum setuju maka kami akan menerbitkannya bulan depan, tapi kalau tidak setuju kami harap antum membahasnya lebih dalam lagi, kami sarankan kepada buku Syaikh Masyhur bin Hasan tentang masalah ini yang sudah tercetak oleh Dar Atsariyyah, Yordania. Semoga kami bisa memuatnya bulan Dzulhijjah.
Perubahan yang kami lakukan dalam beberapa hal berikut:
- Kesimpulan, agar tidak terkesan ngambang tanpa kesimpulan yang jelas.
- Kami menghilangkan pendapat Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad karena ada beberapa qoul beliau yang berbeda-beda dalam masalah ini, sebab di buku Syaikh Masyhur dicantumkan fatwa akhir beliau adalah membolehkan, Wallahu A’lam.
Kami berharap antum bisa mengirimkan artikel-artikel lainnya yang berbobot dan belum pernah dimuat oleh Majalah, terutama masalah aqidah, semoga kita bisa memuatnya.
Tentang artikel “Kunci-Kunci Kebaikan” kami mohon maaf tidak bisa memuatnya karena kami sudah pernah memuat tema yang sama di majalah ini, tapi insyallah kami akan coba tawarkan ke Majalah al-Mawaddah, barangkali mereka menerima.
Semoga Allah menambahkan ilmu bagi kita semua dan menjadikan kita para du’at kepada al-haq.
[1] Diringkas dari Majalah Ad-Daawah, Edisi 2137, 26 Rabi’ul-awwal 1429 H. hal. 24-25.
[2] Dinukil dari wawancara beliau dengan Majalah Ad-Daawah, Edisi 2144, 17 Jumadal-Ula 1429 H. hal 44-47.
[3] Nihâyatul-Muhtaj (3/291). Dârul-fikar.
[4] Mawâhib Al-Jalîl lisyarhi mukhtashar khalîl (4/118). Dâr ‘Alam Al-Kutub.
[5] Lihat perkataan Mujahid di Mushannaf Ibni Abi Syaibah (5/245). Ar-Rusyd. Dinukil dari makalah Hukmut-Tausi’ah Al-Jadîdah lil-Mas’â . Syaikh Masyhûr bin Hasan Alu Salmân.
[6] Lihat Ar-Rihalât hal. 363. Abdul-Wahhâb ‘Azzâm. Dinukil dari makalah Hukmut-Tausi’ah Al-Jadîdah lil-Mas’â.
[7] Para ulama berbeda pendapat tentang panjang hasta. Ini terjadi karena tangan manusia berbeda-beda panjangnya. Menurut Mu’jam Lughah Al-Fuqahâ’ panjang 1 hasta adalah 46,2 cm, sedangkan menurut Al-Mu’jam Al-Wasîth 64 cm.
[8] Penulis tanyakan langsung di Lajnah Daimah, Riyadh.
[9] Seluruh nukilan-nukilan ini diambil dan diringkas dari Makalah ‘kalimatun Haqq Fi Tausi’atil-Mas’a’ yang ditulis oleh Syaikh kami Shalih bin ‘Abdil-’Aziz As-Sindi –hafidzhahullah-
[10] Ukuran pendekatan saja. Sebagaimana telah penulis jelaskan di catatan kaki sebelumnya.
[11] Yaitu dengan mengucapkan, “In habasani habis fa mahilli haitsu habastani” (Jika suatu ketika ada yang menghalangiku, maka tempat halalku adalah ditempat di mana engkau menghalangiku (ya Allah).”
[12] Penulis tanyakan langsung di Lajnah Daimah, Riyadh.
Download SAHKAH SAI DI MASA BARU
Comments